Opini, Suaralugas.com, oleh Mohd Zamani Penasehat IWO Kabupaten Batang Hari.
KENAPA 2023 disebut dengan tahun politik? Jawabannya adalah karena aktivitas di dalamnya banyak diwarnai aktivitas politik berupa pencalonan para politikus untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Jawaban tersebut cukup beralasan, sebab agenda politik yang akan terjadi adalah Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres)serta Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak di 2024. Di dalamnya ada politikus yang sangat berambisi menjadi penguasa baru, mulai dari bupati, wali kota, gubernur, anggota dewan, hingga presiden.
Demi tercapainya hasrat dan ambisi tersebut, maka bermacam cara dilakukan, tak peduli itu jualan program bermodus sejahterakan rakyat.
Padahal program itu hanya ‘Lontong Basi’ ini realitas yang akan terjadi disemua tingkatan, baik tingkat pusat maupun daerah.
Sama seperti perhelatan kontestasi pemilihan baik pada Pemilu maupun Pilkada sebelumnya sejuta janji ditebar, seribu jurus jitu dikerahkan, dan uang miliaran rupiah pun disiapkan, demi satu tujuan, menang menjadi pejabat baru atau berhasil mempertahankan jabatan.
Kini, janji itu sudah banyak yang ditebar di media sosial sebagai penyempurna safari politik dan blusukan dadakan demi meraih citra positif di mata masyarakat. Padahal, mayoritas masyarakat sesungguhnya sudah tahu, kalau janji politik kebanyakan ‘palsu’.
Biasanya, para kontestan berjualan kampanye dengan menjual perubahan yang erat kaitannya dengan hajat hidup orang banyak.
Namun, janji itu akan sirna seiring calon pejabat terpilih menjadi penguasa baru, seperti kepala daerah atau anggota dewan. Pengalaman membuktikan, perubahan yang dijanjikan hanya tinggal janji.
Sangat jarang ada para penguasa yang sungguh-sungguh berupaya memenuhi janji kampanye.
Kalaupun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari, bahkan banyak kepala daerah yang menyerah dan gagal total membahagiakan warganya, mungkin karena program yang dijual itu hanya program ‘Lontong Basi’.
Kebanyakan, para pejabat hanya sibuk balas jasa dan mengembalikan modal selama kontestasi berlangsung serta berupaya memperkaya diri sendiri.
Sebenarnya, mudah melihat kinerja pejabat dengan rumus 2-1-2 yaitu dua tahun pertama untuk balas jasa pada pemodal dan partai pendukung; satu tahun untuk pencitraan; dua tahun terakhir untuk mengumpulkan biaya pencalonan berikutnya.
Kesimpulan dalam catatan Penulis, kekuasaan bisa jatuh bila penguasa dan pejabatnya tamak dalam menikmati apa yang dikuasainya.
Menurut Ibnu Khaldun (1332-1406), runtuhnya sebuah kekuasaan biasanya diawali kezaliman penguasa yang tidak lagi mempedulikan hak dan kesejahtraan rakyatnya, sehingga timbul rasa ketidakpuasan, kebencian, dan ketidakpedulian terhadap aturan yang ada.
Penulis berharap, tahun politik 2023 tidak hanya dihiasi dengan deklarasi penebar janji politik dan pemecah belah masyarakat.
Selain itu, kepala daerah yang menjabat dan berhasil mempertahankan jabatannya pada 2024 mendatang tidak tersandung Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Sebab, jika menyimak catatan pasca reformasi, lebih dari 361 kepala daerah (343 bupati/wali kota dan 18 gubernur) terjerat gelombang korupsi.
Hal ini akan membuat rusaknya citra daerah yang dipimpin dan akan menjadi catatan kelam sebuah daerah.