Batang Hari, Jambi – Kepala Dinas PUTR Batang Hari tidak berani terbuka ke publik soal anggaran pembangunan islamic centre Batang Hari tahap I. Ajirsa Windra Kadis PUTR diganyang-ganyang kebal hukum sejak kasus yang menjerat dirinya ketika menjabat sebagai UPTD UPCA 2016 silam, Minggu (12/10/2025).
Diketahui, Pemkab Batang Hari telah menganggarkan sebesar Rp. 19.974.948.778,-, bersumber dana APBD tahun anggaran 2024 pembangunan islamic centre tahap I.
BPK RI Perwakilan Jambi memeriksa ada 7 item pekerjaan dengan total jumlah keseluruhan Rp. 1.500.728.976,86,-. Dengan kelebihan pembayaran Rp.153.812.075,15, penyetoran sebagian Rp. 10.000.000,00, sisa nilai temuan Rp. 143.812.075,15.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dari rincian tersebut tentunya ada selisih antara pagu anggaran dan pekerjaan yang diperiksa oleh BPK.
Lebih kurang Rp. 18.474.219.801,14, dana selisih dari pemeriksaan BPK itu belum tau dihabiskan untuk pekerjaan apa saja.
Ternyata, kepala Dinas PUTR Batang Hari Ajirsa Windra sejak 2024 lalu telah merangkap jabatan menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPA) dalam beberapa kegiatan pembangunan di Batang Hari.
Dalam proses tender, disinyalir ada tindakan korupsi. Pasalnya tender terlihat ada permainan yang dirancang secara masif dan terstruktur.
Beberapa peserta terlihat hanya jadi boneka dalam tender tersebut dan sudah tahu untuk siapa pekerjaan itu.
Sehingga, beberapa peserta tender hanya menurunkan harga sekitar 10 jutaan dari HPS yang ditentukan penyelenggara.
Ternyata, Ajirsa Windra pernah menjadi sorotan masyarakat ketika menjabat sebagai Kepala UPDT Unit Pengolahan Campuran Aspal (UPCA) pada 2016 lalu.
Dikutip dari jambiekspose.com , Delapan tahun setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi Ajisra Windra dan menguatkan temuan kerugian negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kasus dugaan korupsi yang membelit mantan Kepala UPTD Unit Pengolahan Campuran Aspal (UPCA) Kota Jambi ini masih terkatung-katung tanpa kejelasan.
Perkumpulan L.I.M.B.A.H. (Lembaga Inisiasi Membangun Bumi Agar Hijau) Provinsi Jambi, melalui Bidang Hukumnya, Adv. Aang Setia Budi, S.H., bersama jurnalis investigatif senior, Budi Harto, menyoroti mandeknya proses hukum ini sebagai cerminan nyata dari impunitas dan lemahnya supremasi hukum di Jambi.
“Kasus Ajisra Windra adalah sebuah luka bernanah dalam penegakan hukum di Jambi. Ini bukan lagi soal kelalaian, tetapi sudah mengarah pada dugaan ‘pembiaran’ sistematis yang melukai rasa keadilan masyarakat,” tegas Adv. Aang Setia Budi, S.H., dari Perkumpulan L.I.M.B.A.H. Provinsi Jambi.
Berdasarkan investigasi mendalam yang dilakukan oleh jurnalis Budi Harto, terungkap kronologi panjang yang penuh kejanggalan dan patut diduga menjadi alasan mengapa kasus ini ‘sengaja’ tidak ditindaklanjuti secara tegas.
Kronologi Skandal yang Dibungkam Waktu
30 Mei 2016: BPK RI Perwakilan Jambi menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Kota Jambi Tahun 2015. LHP dengan Nomor 20.C/LHP/XVIII.JMB/5/2016 tersebut secara spesifik memerintahkan Ajisra Windra, selaku Kepala UPTD UPCA saat itu, untuk bertanggung jawab atas kerugian keuangan daerah sebesar Rp5.121.387.302,69.
Akhir 2016 – Awal 2017: Alih-alih mematuhi rekomendasi BPK, Ajisra Windra melakukan perlawanan hukum dengan menggugat LHP BPK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jambi dan berhasil menang. Kemenangan ini kemudian dikuatkan oleh PTUN Medan.
30 Oktober 2017: Mahkamah Agung (MA) menjadi benteng terakhir keadilan. Melalui Putusan Kasasi Nomor 446 K/TUN/2017, MA membatalkan putusan PTUN Jambi dan PTUN Medan. Putusan MA ini bersifat final dan mengikat, yang secara hukum menegaskan keabsahan LHP BPK dan kewajiban Ajisra Windra untuk mengembalikan kerugian negara.
April 2018: Setelah putusan MA, kasus ini dilaporkan secara resmi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh praktisi hukum karena tidak adanya tanda-tanda penindaklanjutan dari aparat penegak hukum (APH) di Jambi.
Oktober 2019: Terungkap bahwa BPK telah melakukan audit investigasi atas permintaan APH. Hasilnya mencengangkan, nilai kerugian negara yang semula Rp5,12 Miliar membengkak menjadi sekitar Rp18 Miliar. Namun, anehnya, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi saat itu mengaku belum mengetahui detail hasil audit tersebut.
2019 – Sekarang: Alih-alih diproses hukum, karier Ajisra Windra di pemerintahan justru seolah tak tersentuh. Ia diketahui menduduki berbagai jabatan strategis, termasuk sebagai Kepala Dinas PUPR Kabupaten Batanghari. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: Siapa “pelindung” Ajisra Windra?
Analisa Hukum: Pelanggaran yang Seharusnya Tidak Bisa Didiamkan
Adv. Aang Setia Budi, S.H. memaparkan sejumlah landasan hukum yang seharusnya menjadi dasar bagi APH untuk segera bertindak:
Kekuatan Hukum Tetap Putusan MA: Putusan Kasasi MA No. 446 K/TUN/2017 adalah bukti hukum tertinggi yang tidak bisa diganggu gugat. Putusan ini menguatkan LHP BPK, yang berarti kerugian negara adalah fakta hukum yang wajib ditindaklanjuti.
Pasal 10 UU No. 15 Tahun 2006 tentang BPK: Undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa pejabat yang terbukti menimbulkan kerugian negara wajib mengembalikan kerugian tersebut. Jika tidak dipenuhi, BPK menyerahkan temuannya kepada instansi yang berwenang, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan, atau KPK.
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Unsur “merugikan keuangan negara” dalam kasus ini sudah terang benderang berdasarkan LHP BPK dan putusan MA. Ketiadaan pengembalian kerugian negara dan adanya dugaan perbuatan melawan hukum dalam pengelolaan anggaran UPCA seharusnya sudah cukup menjadi pintu masuk bagi penyidikan tindak pidana korupsi.
“Secara hukum, tidak ada alasan apapun bagi Kejati Jambi atau Polda Jambi untuk tidak memproses kasus ini. Laporan hasil audit investigasi BPK senilai Rp18 Miliar adalah bukti permulaan yang lebih dari cukup. Mandeknya kasus ini adalah preseden buruk yang menunjukkan bahwa hukum di Jambi bisa dinegosiasikan,” ujar Aang.
Mengapa Ajisra Windra Begitu Kebal Hukum?
Jurnalis investigatif Budi Harto, yang telah menelusuri kasus ini selama bertahun-tahun, menyajikan narasi yang lebih tajam. “Ini adalah potret klasik bagaimana kekuasaan dan dugaan jaringan politik mampu melumpuhkan hukum. Pertanyaan publik sangat sederhana: Mengapa setelah ada putusan MA dan audit investigasi BPK, Ajisra Windra tidak hanya bebas, tetapi kariernya terus menanjak di lingkungan pemerintahan?”
Perkumpulan L.I.M.B.A.H. dan Budi Harto mendorong opini publik untuk mempertanyakan beberapa hal krusial:
Impotensi Kejati Jambi: Apa yang membuat Kejati Jambi seolah ‘tidak berdaya’ menangani kasus yang buktinya sudah disajikan di depan mata oleh lembaga negara sekelas BPK dan dikuatkan oleh MA? Apakah ada intervensi kekuasaan yang lebih besar?
Peran KPK: Laporan ke KPK sudah dilakukan sejak 2018 dan kembali disurati oleh berbagai elemen masyarakat. Apakah kasus ini akan terus mengendap di tumpukan berkas laporan, atau KPK akan melakukan supervisi dan mengambil alih kasus sebagai bukti nyata perlawanan terhadap korupsi di daerah?
Koneksi Politik: Bagaimana bisa seorang pejabat dengan beban kasus dugaan korupsi miliaran rupiah justru mendapatkan promosi jabatan? Ini mengindikasikan adanya sistem ‘perlindungan’ yang bobrok dan kultur birokrasi yang permisif terhadap korupsi.
Ajisra Windra dan Tuntut Penegakan Hukum!
Perkumpulan L.I.M.B.A.H. Provinsi Jambi dengan ini menyatakan sikap:
Mendesak Keras Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi dan Kapolda Jambi untuk segera membuka kembali penyidikan kasus dugaan korupsi di UPTD UPCA Kota Jambi yang melibatkan Ajisra Windra, berdasarkan LHP BPK dan Putusan MA.
Menuntut Ajisra Windra untuk segera mengembalikan seluruh kerugian negara sebesar Rp18 Miliar, sesuai hasil audit investigasi BPK, sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan hukum.
Mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera mengambil alih penanganan kasus ini, mengingat proses di daerah yang telah berjalan bertahun-tahun tanpa ada kemajuan signifikan.
Menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat, mahasiswa, dan media di Jambi untuk bersama-sama mengawal kasus ini. Jangan biarkan uang rakyat dirampok dan pelakunya melenggang bebas tanpa tersentuh hukum.
“Kami, dari Perkumpulan L.I.M.B.A.H., bersama jurnalis Budi Harto, akan terus mengawal kasus ini. Diamnya aparat penegak hukum adalah persetujuan bagi praktik korupsi untuk terus tumbuh subur. Sudah saatnya Ajisra Windra mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum, bukan di atas kursi jabatannya,” tutup Adv. Aang Setia Budi, S.H.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada klarifikasi resmi dari Ajirsa Windra. (Red)






