Penulis: Randy Pratama, S.Pd.
Berjalan seorang pria dengan pakaian rapi dan rambut klimis dengan kartu pengenal di dadanya ke arah ruang kerja salah satu pejabat publik. Mengetok pintu, lalu masuk ke dalam ruangan menghadapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Terdengar dari luar ruangan tersebut suara pembicaraan yang selalu bersambung, sesekali diiringi dengan tawa yang lepas.
Tidak semua pejabat publik yang menerima kedatangannya. Terkadang ada juga yang tidak bisa ditemui dengan beribu alasan.
Ketika ia keluar dari ruangan, seketika mata turun ke bawah dan terlihat sepatu lusuh yang masih ia gunakan.
Aku melihat tidak ada wajah murung diwajahnya, selalu ada canda tawa di setiap pembicaraannya. Meskipun sedikit ghibah namun dibumbui dengan candaan sehingga bagaikan komika yang sedang memaparkan suatu masalah dengan lawakan.
Tidak pernah terdengar keluhan kehidupan yang ia hadapi. Walaupun sesekali udara dingin masuk ke rongga sepatu yang menciptakan rasa dingin hingga ke kepalanya dan sesekali terpeleset ketika berjalan diatas keramik.
Seseorang yang tidak memperdulikan penampilannya, namun tetap menggeluti profesi yang ia cintai sebagai pemburu informasi. Padahal masih banyak pekerjaan lain yang bisa mencukupinya untuk sekadar membeli sepatu.
Menjadi hal yang menarik, tentang sepatu lusuh dan profesi wartawan yang ia geluti.
Pertanyaan demi pertanyaan datang dalam benakku, apa yang menjadi alasan ia untuk tidak membeli sepatu dan tetap menggeluti profesinya.
Apakah profesi ini tidak menjanjikan kemaslahatan hidup seseorang?
Setiap hari, ia berkeliling menemui pejabat publik atau pun ke masyarakat demi sebuah informasi yang akan disajikannya di media tempat ia bekerja.
Mencari informasi tidak sama seperti menjual suatu barang. Orang-orang bisa menikmati barang dengan cara membelinya. Namun, berita yang ia sajikan tidaklah dibayar oleh pembacanya.
Kebanyakan orang lebih memilih tidak membaca sama sekali daripada harus membayar. Berbeda dengan tulisan pada buku pelajaran, mau tidak mau harus dibeli untuk menambah ilmu.
Padahal, untuk mendapatkan informasi yang akurat membutuhkan waktu dan modal yang kuat dari orang yang menjalani profesi wartawan.
Terbesit dalam benakku, sepatu itulah bukti jauhnya perjalanan untuk mencari informasi yang berharga untuk masyarakat.
Bukan karena tidak mampu membeli, namun kebutuhan untuk keluarganya pas-pasan dengan rezeki yang ia peroleh.
Berbeda dengan oknum-oknum yang bersepatu lancip hitam yang mengkilat. Mereka akan turun menindaklanjuti laporan masyarakat setelah adanya Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD), ketika itu tidak dianggarkan tahun ini maka tahun depan baru bisa turun ke lapangan.
“Di tahun ini memang belum dianggarkan untuk turun langsung ke sana (lokasi yang dilaporkan wartawan), mungkin tahun depan akan kita anggarkan,” ucap oknum pejabat publik.
“Wai pak masa iya seperti itu, bapak kan sudah diberi mandat oleh negara sebagai pelayan masyarakat, yang digaji untuk melaksanakan kewenangan yang bapak miliki. Kami saja swadaya turun ke lokasi itu, masa bapak yang sudah digaji masih menunggu SPPD,” ucap wartawan dengan tegas saat menanggapi ucapan pejabat publik yang ia temui untuk melaporkan suatu kejadian agar ditindaklanjuti olehnya.
Benar seperti pernyataan guru besar Columbia Amerika Serikat, John Hohenberg, 1978, dalam buku jurnalisme dasar.
“Jurnalis/wartawan adalah orang yang ditakdirkan selalu mencoba sesuatu yang mustahil, yakni menemukan, mengumpulkan, menyusun, menjelaskan, dan menyebarkan berita, gagasan, atau pendapat hari itu kepada masyarakat. Oleh karena kemustahilan itu, motivasi menjadi seorang jurnalis bukan karena harta kekayaan, jaminan sosial, kemasyhuran, dan bukan pula karena romantika, melainkan karena keresahan terhadap fakta atau realitas yang dihadapinya,” John Hohenberg.
Dalam ajaran agama pun menyatakan, jika sang pencipta menakdirkan hambanya menjadi orang yang kaya raya, dengan cara apapun ia akan menjadi kaya raya dengan tidak memandang apapun profesinya.
Jika ingin menjadi kaya raya bukanlah harus memilih suatu profesi tertentu namun harus mencintai profesi itu sendiri, karena sehebat apapun profesi itu jika belum ditakdirkan menjadi kaya raya maka tetap biasa saja.